Kisah Sahabat Nabi Zaid bin Tsabit ra adalah kisah sahabat yang harus kita ketahui. Zaid bin Tsabit RA adalah sahabat Anshar, ia memeluk Islam bersama keluarganya pada awal hijrah Nabi ke Madinah ketika ia berusia 11 tahun. Ia beruntung karena semasa kecil Nabi SAW mendoakannya secara khusus.
Zaid bin Tsabit mengikuti perang pertamanya
Pada saat Perang Badar tahun 2 Hijriah ketika ia berusia 13 tahun, ia dibawa oleh ayahnya tetapi Nabi SAW melarangnya untuk hadir karena ia terlalu kecil dan tubuhnya terlalu kecil. Begitu pula saat Perang Uhud, Nabi SAW melarang sekelompok pemuda termasuk Zaid untuk menunggangi kuda perang.
Namun dua pemuda yang tubuhnya cukup kuat dan memiliki kemampuan tertentu Nabi SAW mengizinkannya yaitu Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub. Mereka berdua berusia lima belas tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru ikut memasuki pertempuran dalam Perang Khandaq pada tahun kelima Hijriah. Setelah itu, ia hampir selalu mengikuti berbagai pertempuran yang dipimpin oleh Nabi SAW.
Sebagai seorang pemuda ia mendapat perhatian khusus dari Nabi SAW. Dia adalah orang yang cerdas dan memiliki kemampuan untuk menulis, sehingga dia diberi tugas untuk menulis sebuah wahyu yang dierima Nabi saw. Dia juga memerintahkannya untuk belajar beberapa bahasa asing, yang bisa dia kuasai dalam waktu singkat.
Ketika Nabi SAW mulai berdakwah kepada raja dan kaisar di luar negeri, Zaid bin Tsabit menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah tersebut karena kemampuan bahasanya.
Zaid bin Tsabit dan tanggung jawab terbesarnya
Bahkan, sejumlah sahabat dititipkan kepada Nabi SAW untuk menghafal dan menuliskan wahyu-wahyu yang datang sedikit demi sedikit, terkadang berkaitan dengan suatu peristiwa atau sebagai reaksi dan solusi dari suatu masalah.
Namun sedikit orang yang dianggap “pemimpin” dalam bidang ini, mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Zaid bin Tsabit sendiri. dua dari para sahabat Ansar.
Ketika perang Yamamah pecah di masa Khalifah Abu Bakar, banyak dari para sahabat yang gugur yaitu para pembaca (qary) dan penghafal (huffadz) mengalami syahid. Hal yang agak mengkhawatirkan ini "ditangkap" oleh Umar bin Khaththab.
Dia segera mendatangi Abu Bakar dan menyarankan agar dia segera menyusun Al-Qur'an dari catatan dan ingatan rekan-rekan yang selamat. Tetapi Abu Bakar berkata dengan tegas: “Mengapa saya harus melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW (yaitu bid’ah)?”
“Demi Allah, itu adalah perbuatan baik!! kata Umar agak memaksa kepada Abu Bakar.
Abu Bakar masih ragu. kemudian shalat istikharah dan kemudian Allah membuka hatinya untuk menerima saran Umar. Abu Bakar dan Umar berunding dan mereka memutuskan untuk menyerahkan tugas itu kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid menghadap Abu Bakar dan dia diberi tugas, reaksinya sama dengan reaksi Abu Bakar, dia berkata, “Mengapa saya harus melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW (yaitu bid’ah)?”
Abu Bakar dan 'Umar menjelaskan keadaan dan bahaya yang mungkin timbul dan akhirnya Abu Bakar berkata: 'Kamu adalah pemuda yang pandai dan kami tidak pernah meragukanmu. Nabi SAW juga memerintahkan kalian untuk selalu menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur'an."
Zaid bin Tsabit berkata: "Demi Allah, ini kerja keras.
Seperti Abu Bakar, Zaid akhirnya dapat diyakinkan akan pentingnya pekerjaan ini untuk kelangsungan hidup Islam di masa depan.
Sebenarnya Zaid sudah sangat hafal Al-Quran. Namun, dia tidak ingin menggunakan ingatannya sendiri. Dia pergi ke sahabat-sahabat yang memiliki catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang tersebar di kulit, tulang, daun lontar, daun, dll. dan juga membandingkannya dengan hafalan setiap para sahabat.
Setelah mengumpulkan semuanya dan memeriksanya dengan ingatannya dan juga ingatan para sahabat lainnya, Zaid menuliskannya lagi di lembaran kertas dan mengumpulkannya dalam satu paket. Semuanya diatur menurut urutan surat dan ayat-ayat yang didiktekan kepada Nabi SAW
. Ini adalah mushaf pertama yang dibuat dalam Islam dan peran Zaid bin Tsabit dalam penyusunannya sangat besar. Butuh waktu hampir satu tahun untuk menyelesaikannya.
Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh jenis bacaan (qiraat sab'ah). Padahal, hal itu diminta oleh Nabi SAW sendiri untuk kemudahan umatnya di seluruh Dunia, yang pengucapan dan karakter bahasanya berbeda, sehingga jika bertepatan dengan salah satu bacaan (qiraat) dianggap benar.
Ketika Nabi SAW masih hidup dan Islam masih di Jazirah Arab, hal ini tidak menjadi masalah. Namun ketika wilayah Islam meluas hingga ke Roma, Persia dan tempat-tempat lain, sedangkan pemeluk agama Islam juga semakin beragam dari berbagai bangsa, tidak hanya Arab, hal ini dapat menimbulkan perpecahan.
Pada masa kekhalifahan Utsman, ketika Islam mulai menyentuh kawasan Eropa yaitu Siprus dan sekitarnya, benih berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya.
Oleh karena itu, mereka mendekati Khalifah Utsman dengan usulan untuk mengkonsolidasikan Mush'af menjadi satu bacaan/qiraat dan menyebarluaskannya sebagai pedoman bagi komunitas Muslim yang berkembang. Untuk qiraat sab'ah (bacaan ketujuh) hendaklah diketahui hanya oleh para ulama dan ahli.
Khalifah Utsman tidak langsung menerima saran itu karena takut terjerumus ke dalam bid'ah, seperti yang ditakutkan Abu Bakar. Namun setelah melakukan Istikharah dan mempertimbangkan keutuhan ummat serta kekurangan dan kelebihan dari adanya Qiraat Sab'ah, akhirnya beliau menyetujui usul ini.
Dan seperti Abu Bakar, Khalifah Utsman menempatkan Zaid ibn Tsabit sebagai penanggung jawab proyek besar ini, sehingga menghasilkan kodifikasi Mush'af Utsman, yang menjadi cikal bakal dari hampir semua Mush'af Al-Qur'an yang beredar saat ini. Sesungguhnya kita semua berhutang jasa yang banyak kepada Zaid bin Tsabit
Itulah Kisah Sahabat Nabi Kali ini, semoga apa yang terlah dikisahkan dapat bermanfaat buat pembaca semuanya.