Imran bin Hushain al Khuzai, seorang sahabat dari Bani Khuza’ah yang telah memeluk Islam pada saat Nabi SAW masih berdakwah di Makkah. Ayahnya, Hushain bin Ubaid al Khuzai adalah seorang pemuka dan juga ilmuwan di antara kaumnya, yang juga sangat dihargai oleh kaum Quraisy Makkah. Suatu ketika ia sedang bersama Nabi SAW dan sahabat-sahabat lainnya, ketika ayahnya itu datang menemui Nabi SAW, atas permintaan kaum Quraisy. Imran segera memalingkan muka dan bersikap sinis melihat ayahnya tersebut. Ia sangat tahu kepandaian dan keahlian ayahnya dalam berdebat, dan ia sangat tidak rela jika Rasulullah SAW dibantah oleh ayahnya itu.
Tetapi setelah beberapa lamanya berbincang, akhirnya ayahnya tersebut
menyerah dengan logika ketuhanan yang disampaikan Nabi SAW dan Hushain bin
Ubaid mengucap syahadat menyatakan dirinya memeluk Islam. Imran kaget
bercampur gembira, ia segera memeluk dan mencium kepala, tangan dan kaki
ayahnya dengan penuh haru. Rasulullah SAW sendiri sampai ikut menangis
melihat sikap Imran tersebut. Salah seorang sahabat bertanya, “Mengapa
engkau menangis, ya Rasulullah??”
Beliau bersabda, “Aku menangis melihat sikap Imran. Ketika ayahnya masuk ke
sini dalam keadaan kafir, ia tidak menyambutnya, bahkan ia bersikap sinis
dan memalingkan muka. Tetapi begitu ayahnya memeluk Islam, ia segera
menunaikan kewajibannya sebagai anak, hal itu yang membuatku menangis
terharu!!”
Sebagian riwayat menyebutkan, Imran bin Hushain ini memeluk Islam pada saat perang Khaibar, yang terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah. Kalau mengacu dengan kisah keislaman ayahnya tersebut di atas, tentu saja hal itu sangat bertentangan. Wallahu A’lam!!
Imran bin Hushain sangat rajin menghadiri majelis pengajaran Rasulullah SAW, baik ketika berada di Makkah, terlebih lagi ketika telah hijrah ke Madinah. Karena itu ia termasuk salah satu sahabat yang cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Ia berusia lanjut hingga sempat mengalami jaman kejayaan Islam, di mana harta melimpah ruah di seluruh penjuru negeri. Namun demikian ia memilih tetap hidup sederhana dan zuhud seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, Imran ditugaskan untuk menjadi pengajar bagi penduduk Bashrah. Salah satu yang menjadi muridnya adalah seorang ulama tabi’in yang terkenal, Hasan al Bahsri. Hasan al Bashri pernah berkata, “Tidak ada sahabat Nabi SAW yang datang ke Bashrah, yang keutamaannya melebihi Imran bin Hushain. Ia selalu menolak siapapun yang membuatnya lalai beribadah kepada Allah, ia layaknya malaikat yang berjalan di muka bumi!!”
Ketika terjadi pertentangan antara Khalifah Ali dan Muawiyah, Imran bin Hushain memilih tidak berpihak kepada siapapun dari keduanya. Ia berkata, “Menggembala sekelompok kambing yang sedang menyusui anak-anaknya di puncak gunung yang terpencil sampai aku mati, lebih aku sukai daripada harus melepaskan anak panah ke salah satu kelompok kaum muslimin, baik mereka itu salah, apalagi mereka itu benar!!”
Pada masa akhir hidupnya, Imran bin Hushain menderita penyakit buang air selama tigapuluh tahun dan ia tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya. Akibatnya harus dibuatkan lubang di bawah tempat tidurnya untuk kencing dan buang air besarnya. Namun demikian selama tiga puluh tahun tersebut ia tidak pernah mengeluh dan tetap bersabar dengan ujian Allah yang dialaminya. Ia juga tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban syariat sesuai kemampuannya.
Suatu ketika salah satu saudaranya yang bernama Al Alaa' atau Mutharrif bin
Asy Syikhkhir menjenguknya dan ia menangis melihat keadaan Imran yang begitu
memprihatinkan. Ia tersenyum melihat reaksi saudaranya tersebut dan berkata,
"Janganlah engkau menangis. Sesungguhnya aku suka dengan apa yang disukai
Allah. Aku akan menceritakan kepadamu sesuatu hal, yang semoga saja
bermanfaat bagimu, tetapi jangan engkau ceritakan kepada orang lain sampai
aku meninggal dunia."
Kemudian Imran menceritakan, bahwa karena
sakitnya itu, para malaikat berziarah atau mengunjungi dirinya setiap
harinya, dan memberi salam kepadanya, sehingga ia merasa senang dan selalu
berdoa untuk tidak sembuh dari penyakitnya tersebut hingga ajal
menjemputnya.
Jika ada orang yang menyarankan agar ia berobat atau akan mengobatinya, ia akan berkata, “Sesuatu yang paling aku cintai adalah sesuatu yang dicintai Allah (yakni, ketentuan/takdir Allah kepada dirinya) !!”
Ketika waktu ajalnya makin dekat, ia berpesan kepada orang-orang sekitarnya, “Jika kalian pulang setelah menguburkanku, hendaklah kalian sembelih beberapa ekor ternak untuk menjamu mereka, layaknya jamuan dalam pesta perkawinan!!”