“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.“(QS Ad Dzariyat:56)
Bismillahirrahmaanirrahiim. Perkenalkan Namaku James D. Frankel. Aku akan
menceritakan sedikit pengalaman tentang bagaimana aku masuk Islam. Aku seorang
professor dalam bidang perbandingan agama, aku juga mengajar kelas Islam di
Universitas Hawaii, Manoa. Saat ini aku tinggal di Hawaii selama 2 tahun,
sekarang memasuki tahun ke-3. Beberapa teman muslim memintaku apakah aku bisa
menceritakan pengalamanku. Jadi insya Allah aku dapat menceritakannya hari ini
dan jika ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, semoga Allah memberikan
hidayah kepada kita semua aamiin.
Lahir dari Keluarga Yahudi
Seperti yang telah saya beritahukan sebelumnya, aku tinggal di Hawaii 2 tahun
yang lalu. Sebelumnya, aku hidup di kota New York. Aku dilahirkan dan
dibesarkan di kota New York, lahir pada tahun 1969, dan tumbuh di Kota
Manhattan, juga di Brooklyn selama beberapa tahun hidupku. Saya hidup dalam
keluarga yang bahagia. Kedua Orangtuaku membesarkanku tidak dengan didikan
agama manapun, tapi aku dibesarkan dengan beberapa nilai-nilai moral dasar.
Sebenarnya jika dilihat dari garis keturunan, latar belakangku berdarah
Yahudi, tapi saya dibesarkan dalam didikan yang sekuler. Tidak banyak ajaran
agama yang dipraktekan, dan satu-satunya hubungan yang kudapatkan dengan
agama adalah melalui ayahku, dari nenekku. Ibu dari ayahku yang merupakan
Yahudi yang taat. Darinya, aku belajar beberapa hal, kisah-kisah dalam Taurat,
kisah-kisah para nabi dan lainnya. Untuk waktu yang singkat, orangtuaku
sebenarnya memasukkanku ke sekolah Ibrani untuk belajar, tapi aku tidak
terlalu nyaman di sana dan dikeluarkan karena terlalu banyak bertanya. Jadi
mungkin inilah sifatku dan hal inilah yang membawaku kepada keadaanku saat
ini.
Menganut faham Komunis di Umur 13 Tahun
Sebagai seorang professor dan tentu saja seorang muslim, aku terus bertanya
banyak hal. Jadi aku tumbuh tanpa pondasi agama apapun, dan hal ini terus
berlanjut dalam hidupku sampai aku mencapai usia remaja, sampai aku
berumur kurang lebih 13 tahun aku mengalami sesuatu.
Nomor satu: Aku membaca “The Communist Manifesto”, yang dikarang oleh
Karl Max dan saat itu aku memutuskan untuk menjadi seorang komunis pada umur
13 tahun. Kupikir nilai-nilainya bagus dan filosofinya berpotensial untuk
memberikan manfaat kepada orang banyak. Pada saat itu juga, dari sinilah
kurasa pertama kalinya aku berkenalan dengan ajaran agama Islam sejauh yang
kuingat selama ini.
Diberi Hadiah Al Qur’an
Sahabat terbaikku pada saat itu berasal dari Pakistan. Aku belajar di sekolah
internasional, jadi aku punya banyak teman dari berbagai penjuru
dunia. Aku punya seorang teman Pakistan yang memberikanku sebuah Al
Qur’an. Dia ingin aku membacanya, dia berkata, “Aku tidak ingin kamu masuk
kedalam neraka.” Dan tentu saja pada waktu itu, pemikiran tentang surga dan
neraka tidak terlalu kupikirkan. Dan aku mengambil kitab itu dan menaruhnya di
rak bukuku. Dan disitulah kitab itu bertahun-tahun tanpa pernah dibaca.
Selalu Berpikir Kritis
Beberapa tahun kemudian kurasa aku merasakan banyak sekali kekecewaan, ketika
aku tahu bagaimana faham komunisme dipraktekkan dalam banyak negara di dunia,
jadi aku membuang filosofi itu saat itu juga. Dan baru ketika aku memasuki
kuliah aku menanyakan sebuah pertanyaan yang akan menuntunku secara langsung
kepada jalan ini. Kurasa sudah dari kecil aku selalu berpikir kritis. Aku
selalu ingin tahu makna kehidupan dan pertanyaan-pertanyaan dasar seperti:
kenapa kita ada di sini? Kemana kita akan pergi? Kenapa kita menderita? Semua
hal itu selalu hadir dalam pikiranku, bahkan ketika aku masih anak-anak.
Kematian Nenek dan Pertanyaan yang Tak Terjawab
Tapi seiring aku tumbuh dewasa dan ketika aku masuk universitas, aku lebih
banyak fokus dalam studiku sampai aku mengalami sesuatu. Ingat dengan nenek
yang sebelumnya kusebutkan? Ketika aku kuliah, aku tinggal di Washington D.C.
Aku mendapat telpon dari sepupuku yang ingin kuliah di Maryland. Dan ini
merupakan sebuah kunjungan bagi kakek-nenekku, bagi bibiku, dan sepupuku yang
lain, dan mereka mengajakku makan malam. Dan aku menghabiskan sebagian besar
waktu malam hanya berbicara dengan nenekku. Aku memberitahu tentang rencanaku
untuk mulai belajar di Cina yang kulakukan pada saat itu. Aku memberitahu
rencanaku untuk kembali ke New York untuk pindah ke Universitas Columbia. Dan
aku melihat dia memberikan sebuah pemberkatan pada semua keputusan yang kubuat
dalam permulaan hidupku sebagai seorang dewasa.
Pada akhir malam, aku berjalan bersamanya ke mobilnya, dan di tempat parkir
dari restoran itu pergelengan kakinya terpelintir, dan dia jatuh terpeleset.
Aku bertanya padanya, “Nenek, apakah kau baik-baik saja?”. Dia berkata,
“Jangan khawatirkan aku, khawatirkan saja dirimu.” Aku berpikir, “Oke..”
Kemudian aku terus berjalan bersamanya ke mobil, aku membuka pintunya, dia
masuk ke dalam, aku mengecupnya dan mengucapkan selamat malam, dan berkata,
“Tampaknya lain kali aku berjumpa denganmu adalah pada Hari Thanksgiving,
ketika aku kembali dari New York.” Dia berkata kepadaku, “Jika Tuhan
mengizinkan.” Dan aku tidak berpikir banyak pada waktu itu. Aku menutup
pintunya dan mobilnya jalan. Sepupuku mengantarku kembali ke asrama dan aku
pergi tidur.
Keesokan subuhnya aku mendapatkan telpon dari sepupuku. Aku bertanya mengapa
dia menelponku sepagi itu. Dia berkata bahwa nenek sudah meninggal. Aku
berkata, “Yang benar?” Kupikir mungkin dia sedang bercanda. Aku berkata, “Apa
yang kau bicarakan?”. Dan dia menjelaskan bahwa nenek mendapat serangan
jantung dalam tidurnya. Dan tentu saja kata-kata terakhirnya masih bergema
dalam telingaku. Aku berkata, “Sampai jumpa lagi.” Dan dia berkata, “Jika
Tuhan mengizinkan.” Dan aku berkata, “Apakah kau baik-baik saja dan dia
berkata, “Jagalah dirimu sendiri.” Jadi sampai hari ini aku masih merasa bahwa
kunjungan itu tak terduga dan tentu saja kepergian tak terduga baginya. Dan
sampai hari ini aku hanya bisa menerka-nerka apa makna pertemuan dengan
nenekku hari itu. Yang seperti kukatakan merupakan satu-satunya hubunganku
dengan agama.
Aku kembali ke New York untuk pemakamannya, dan itu adalah pemakaman
berdasarkan cara Yahudi tradisional dan rabbi (pendeta Yahudi) yang memberikan
eulogi (pujian pada orang yang meninggal) membicarakan tentang nenekku. “Sarah
adalah harta karun yang langka”, katanya. “Dia seperti permata dan sekarang
Tuhan telah membawa permata ini kembali pada-Nya.” Aku berkata, “Oke, memang
itu yang dikatakan seorang rabbi (pendeta Yahudi)”.
Ketika rabbi (pendeta Yahudi) itu datang ke rumah kakekku untuk
menghormatinya, aku ingin bertanya beberapa pertanyaan pada rabbi itu. Aku
ingin bertanya tentang beberapa praktek yang dilakukan dalam rumah Yahudi pada
saat seseorang meninggal, dan dia berkata, “Jangan khawatir tentang hal-hal
itu, itu hanya tradisi.” Aku berkata, “Oke, bagaimana dengan ini? Dalam
ceramahmu kau berkata bahwa nenekku… Aku tidak tahu seberapa baik kau mengenal
dirinya, tapi kau berkata bahwa dia diambil oleh Tuhan. Jadi dimana dia
sekarang? Dan untuk kasus ini, kemana aku akan pergi? Kemana kau akan pergi?
Kemana kita semua akan pergi? Kenapa kita ada di sini?” Dan semua pertanyaan
yang ada dalam hati seorang manusia. Dan rabbi itu, aku sangat mengingatnya,
dia melihat jam tangannya dan berkata, “Aku harus pergi.” Dan kurasa dia tidak
sadar betapa hal itu membuatku marah, dan kurasa dia juga tidak sadar bahwa
sejak saat itu dia membuatku menapaki sebuah jalur yang akan menuntunku hingga
keadaanku saat ini, karena aku menjadi sangat tertarik dengan pertanyaan itu.
Saat itu, aku ingin mencari jawaban pertanyaan itu untuk menghormati memori
nenekku.
Mempelajari Berbagai Agama
Aku mencoba mencari komunitas Yahudi yang dapat menjawab pertanyaanku itu.
Komunitas yang kutemukan.., pada saat itu aku berumur 18 atau 19 tahun…
Komunitas yang kutemukan tidak membuatku puas. Dan aku menanyakan pertanyaan
yang sudah berulang kali kutanyakan sejak kecil : “Apakah Tuhan hanya untuk
bangsa Yahudi?” Hanya ada 20 juta orang Yahudi di dunia, sedangkan ada
milyaran orang lain. Tuhan juga menciptakan mereka, benar kan?
Jadi aku mulai belajar sendiri, aku mulai mempelajari Bible. Dan saat itu
musim panas ketika aku berada di Inggris, aku ada di sana untuk magang. Ada
beberapa Kristen Evangelis yang menghampiriku untuk berbincang-bincang, dan
tentu saja mereka juga ingin agar aku menerima iman mereka. Aku berpikir,
“Oke, kenapa tidak mencoba Kekristenan?” Aku belum pernah benar-benar
memikirkannya. Dan ketika membaca Bible, aku mendapatkan rasa cinta yang kuat
dan rasa hormat kepada Yesus. Tapi mereka menginginkanku untuk melompat lebih
jauh. Mereka ingin aku menerima Yesus sebagai Tuhanku dan penyelamatku , tapi
hal itu tidak bisa kulakukan. Yesus bagiku adalah seperti seorang abang. Yesus
bagiku lebih seperti seorang guru. Yesus bagiku adalah seorang Yahudi. Dan aku
tidak dapat menerima yang mereka katakan tentang Yesus. Tapi seperti yang
kukatakan, aku mendapatkan hubungan yang kuat tentang Yesus. Kupikir, “Oke..,
aku tak akan mendapatkan jawaban apapun untuk pertanyaanku.”
Seorang diri, aku juga belajar filosofi ketimuran, Budha. Aku membaca
Upasnishads dan aku membaca filosofi barat, khususnya Yunani dan Romawi,
filosofi Stoic, tapi tak ada yang benar-benar menjawab pertanyaan mendalam
yang kupunya.
Dan pada suatu hari, aku kembali ke New York tepat sebelum perkuliahan
semester baru dimulai. Aku berada di Times Square, dan ini pada awal tahun
1990, jadi Times Square sangat berbeda dengan masa sekarang. Saat itu masih
agak berantakan. Di sana ada pecandu narkoba, wanita malam, dan berbagai macam
pengkhotbah agama. Dan aku ingat sedang berbicara kepada seseorang aku selalu
senang membicarakan agama dengan orang-orang seringkali sebagai seorang
skeptis. Dan ada seseorang yang merupakan Yahudi pencinta Yesus. Dia
memberitahuku apa yang dia imani, dan aku sudah mendengar hal itu sebelumnya.
Pada dasarnya dia menganut agama Kristen. Dan dia memintaku untuk berdoa
bersamanya, tapi aku berkata, “Maaf, aku tidak mengimani apa yang kau imani.”
Dia berkata, “Tapi kau beriman pada Tuhan.” Aku berkata, “Kupikir begitu.” Dia
berkata, “Kalau begitu, berdoalah bersamaku. Berdoa saja kepada
Tuhan.” Dia menempatkan tangannya di bahuku, memejamkan matanya dan mulai
bicara kepada Bapa. Ketika matanya terpejam, aku mulai melihat ke sekeliling,
dan di pojok aku melihat seseorang dengan jenggot hitam yang panjang,
mengenakan jubah putih (jellabiya), sorban putih. Mereka adalah orang Afrika
atau orang Afrika Amerika. Tapi tampaknya mereka baru saja membolak-balik
halaman Bible. Mereka terlihat seperti Noah, Abraham, atau seperti itu. Aku
berpikir, “Hm… aku seharusnya tidak menilai buku dari sampulnya, dan mengapa
tidak bicara dengan mereka?”
Setelah orang Yahudi Kristen itu selesai berdoa, aku menghampiri mereka dan
bertanya, siapakah mereka dan apa yang mereka khotbahkan. Mereka memberitahuku
bahwa aku mungkin tak akan tertarik mendengarnya. Aku berkata, “Kenapa tidak?”
Mereka berkata, “Karena kau adalah iblisnya.” Aku berkata, “Benarkah? Aku
iblisnya?” Mereka berkata, “Semua orang kulit putih adalah iblis.” Dan aku
berkata, “Jika aku iblisnya, biarkan aku bertanya satu pertanyaan saja. Jika
aku adalah iblis, kenapa aku begitu haus untuk mengenal Tuhan?” Mereka
menjelaskan padaku, “Bahkan iblis pun beriman pada Tuhan.” Aku bertanya pada
mereka, “Darimana kalian mendapatkan pengetahuan ini?” (Aku sebenarnya tahu,
aku pernah membaca sebuah essay di kampus tentang ‘Malcom X and The Nation of
Islam’). Jadi aku paham bahwa mereka mungkin adalah bagian dari grup Black
Nationaalist Movement itu. Tapi aku tetap bertanya apa sumber mereka tentang
ini yang menyebutkan tentang sifat setanku. Mereka memberikanku beberapa ayat
dari Bible, kurasa dari Injil Daniel. Aku berkata, “Tidak, tidak… Jika aku mau
Bible, aku dapat mendapatkannya dari orang Yahudi Kristen itu atau orang
Kristen lainnya. Bagaimana dengan kitabmu? Bukankah kalian membaca Al Qur’an?”
Mereka berkata, “Ya.” Dan mereka memberiku beberapa ayat untuk dibaca dari
surat Al Kahfi.
Membaca Al Qur’an untuk Pertama Kalinya
Aku membawa pulang kertas berisi catatan tentang ayat itu dan aku langsung
menuju ke rak dimana ada Al Qur’an yang diberikan padaku 6 tahun yang lalu
oleh temanku, Mansur. Aku mulai membacanya, aku mencari ayat yang
diberitahukan oleh mereka, membacanya, dan tentu saja tidak ada ayat yang
mengatakan bahwa aku atau orang kulit putih lainnya adalah iblis. Tapi karena
aku sudah terlanjur membacanya, maka aku membalik ke halaman awal, dan aku
mulai membacanya. Dan aku membaca, membaca, dan membaca hingga akhirnya aku
tertidur dengan kitab itu di tanganku.
Pada hari berikutnya, aku membaca, membaca, dan membaca ketika ada waktu
luang. Dan kapanpun aku punya waktu luang, di antara jadwal kelas, ketika
pergi ke sekolah memakai kereta bawah tanah New York, aku terus menerus
membaca Qur’an. Qur’an membuat hatiku bergetar dimana kitab lainnya tidak
pernah, dan tentu saja Bible tidak bisa membuatku seperti itu. Bahasa Qur’an
yang langsung, dan fakta bahwa Tuhan Penguasa Semesta, Sang Pencipta seperti
yang dijelaskan oleh kitab itu sendiri. Dia langsung berbicara denganmu dengan
sangat intim dan langsung pada beberapa ayat. Hal itu membuat hatiku bergetar
dimana aku tak pernah merasakannya sebelumnya. Dan aku tak dapat memberitahumu
dimana atau kapan tepatnya ada waktu ketika aku membacanya terkadang air
mataku mengalir membasahi pipiku. Terkadang ketika aku membacanya, bulu-bulu
di tanganku berdiri dan juga di tengkukku. Aku tidak bisa menjelaskan di ayat
mana, tapi pada suatu titik aku menyadari bahwa aku sedang membaca firman
Tuhan.
Aku Sudah Menjadi Seorang Muslim?
Di sekitar tahun baru pada waktu itu, kurasa Januari tahun 1990, aku bertemu
dengan teman-teman semasa SMA. Kami pergi minum kopi dan membicarakan tentang
kehidupan masing-masing. Mereka bertanya kepadaku, “Apa yang kau percayai
akhir-akhir ini?” Mereka tahu ketika aku masih komunis, aku mengalami berbagai
fase sebagai anak muda, dan mereka tahu bahwa aku adalah orang yang tidak
terlalu percaya pada apapun. Jadi mereka bertanya padaku dan aku berkata, “Aku
percaya pada Tuhan.”
Mereka berkata, “Benarkah? Tuhan apa?”
Aku berkata, “Hanya ada satu Tuhan”
Dan mereka berkata, “Darimana kau tahu tentang ini?”
Aku berkata, “Aku membacanya dari Qur’an.”
Mereka berkata, “Jadi kau telah membaca Qur’an? Jadi kau benar-benar percaya
bahwa ini adalah pesan Tuhan dan Muhammad adalah Rasul Tuhan?”
Aku berkata, “Ya, kurasa begitu.”
Temanku berkata, “Oke, biar kuluruskan hal ini. Kau percaya bahwa hanya ada
satu Tuhan dan Muhammad adalah utusan-Nya?”
Aku berkata, “Ya, aku percaya.”
Dia berkata, “Kau seorang muslim.”
Aku tertawa. Aku berkata, “Aku seorang muslim? Kaulah yang Muslim, karena kau
dari Pakistan. Aku hanya seseorang yang percaya adanya Tuhan. Itu saja! Kaulah
yang Muslim!”.
“Jika kau percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa, dan Muhammad
adalah utusan-Nya, maka kau seorang Muslim.”
Dan aku terkejut mendengarnya. Untuk beberapa hari berikutnya, aku harus
berpikir apa artinya itu.
Sendirian Belajar Cara Beribadah dari Buku
Kemudian aku menghubungi temanku, Mansur, yang memberiku Quran ketika aku
berumur 13 tahun. Aku dengar dia bekerja di Universitas Pennsylvania dan
berkerja di Muslim Studies Association di sana. Jadi aku memintanya apakah dia
bisa mengirimkan beberapa buku kepadaku. Buku-buku yang memberikan pengenalan
tentang Islam dan juga bagaimana kehidupan dan syarat-syarat seorang Muslim.
Dan dia mengirimkanku satu buku yang berjudul “Islam in Focus”. Aku tidak
ingat siapa nama pengarangnya sekarang, tapi buku ini menyediakan pengenalan
yang baik, tidak hanya pada dasar-dasar iman, tapi juga tentang kelima rukun
Islam. Aku belajar caranya sholat, aku belajar mengucapkan syahadat, aku
belajar caranya berwudhu. Semua hal ini dari buku itu. Dan aku mulai sholat,
kurasa kau dapat mengatakan aku seorang Muslim yang tetutup karena aku hidup
di rumah orangtuaku saat itu dan aku selalu menutup pintunya ketika sholat.
Dan bahkan pertama kalinya aku puasa di Bulan Ramadhan, aku melakukannya
benar-benar sendirian. Aku tidak punya komunitas, aku hanya mengira-ngira
kapan matahari terbit dan kapan matahari tenggelam, dan makan pada waktu yang
diperbolehkan. Jadi pada 6-8 bulan pertama kehidupanku sebagai Muslim, aku
benar-benar sendirian dan sumber petunjukku adalah Al Qur’an, dan buku-buku
para ulama. Dan itulah kisahku memeluk Islam.
Reaksi Keluarga Saat Mengetahui Keislamanku
Pada suatu titik, aku harus memberitahu keluargaku. Jadi aku harus keluar dari
kesendirian ini. Pada suatu malam ketika makan bersama, aku duduk dengan
keluargaku dan aku berkata kepada mereka, “Kalian tahu bahwa aku sering
membaca Qur’an.” Mereka berkata, “Ya, kami tahu, kau membawanya kemanapun.”
Aku berkata, “Aku benar-benar mengimaninya. Disamping beriman, ada beberapa
praktek yang harus dilakukan sebagai bagian dari keimanan itu, yang kuputuskan
untuk kuikuti. Jadi kurasa itu menjadikanku seorang Muslim.” Reaksi ibuku
sangat kuat. Dia menangis. Dan kurasa mungkin dia bertanya kepada dirinya
sendiri, dia melihat ke ayahku dan berpikir, “Apakah kami melakukan hal yang
salah? Bagaimana ini bisa terjadi?” Kurasa reaksi ayahku lebih tenang, dia
mungkin berpikir, “Anakku seorang komunis ketika dia berumur 13 tahun, dia
menjadi skinhead(sub-budaya Inggris) ketika berumur 16 tahun, dia melewati
begitu banyak fase, mungkin ini hanyalah fase lainnya. “ Dan kurasa ayah dan
ibuku merencanakan sesuatu.
Mungkin mereka pikir, ini sebuah fase, tapi ini bukan fase yang asal berlalu
begitu saja, kupikir begitu. Dan ibuku tampaknya menyadari bahwa aku serius
dan tentu reaksinya adalah merasa takut dan menyesal. Dan kurasa ini dapat
dimengerti, ketika seseorang punya pandangan terdistorsi yang didasari
informasi yang salah atau terbatas. Jadi mereka adalah tantangan yang terberat
dalam tahun pertama itu, yaitu mencoba berkomunikasi dengan orang tuaku. Aku
harus mengatakan, Alhamdulillah, mereka sangat pengertian dan penyabar dan
kami telah saling memahami lebih baik.
Saat itu, mungkin ibuku khawatir kalau-kalau aku akan berubah menjadi seperti
monster. Tapi aku berusaha meyakinkannya bahwa sejak masuk Islam, aku menjadi
pelajar yang lebih baik. Kurasa aku menjadi anak yang lebih baik. Kalian tahu,
aku bukan anak yang buruk sebelum masuk Islam, mungkin bagi sebagian orang.
Belajar dalam jalan ini penting bagi mereka agar dapat memperbaiki diri
sendiri. Dalam kasusku, aku berterima kasih pada orangtuaku karena telah
memberiku nilai-nilai yang dapat kukenali ketika masuk Islam. Dan sebelumnya
aku bukan orang yang buruk dan Insya Allah, Islam telah membuatku menjadi
orang yang lebih baik. Jadi jalur setiap orang berbeda-beda, bagaimana cara
mereka sampai kesana.
Setiap orang punya cara yang berbeda dalam memahami jalan ini. Bagiku hal ini
banyak kaitannya dengan belajar dan mendapatkan ilmu. Kurasa itulah yang
menjadi dasar kehidupan. Tujuan dasar Islam adalah untuk mendapatkan
pengetahuan. Pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan tentang dunia dan
jagat raya, dan pengetahuan tentang hubungan kita dengan Allah. Jadi ini
mendorongku ke dalam karirku. Aku tidak tahu apakah aku akan menjadi professor
sekarang, jika tidak menjadi Muslim. Aku tidak mengatakan bahwa semua orang
harus menjadi professor, tapi bagiku ini adalah perjalanan yang panjang dari
belajar dan sekarang mengajar.
Hikmah 20 Tahun dalam Islam
Seiring berjalannya waktu, aku juga menghormati agama lain juga, yang kupikir
takkan kudapat jika aku tidak menempuh jalan Islam ini. Kupikir sesuatu yang
harus dimasukkan hati oleh Muslim yang baru adalah: ketika seseorang menjadi
Muslim, orang itu tidak menjadi orang yang berbeda. Rasulullah SAW bersabda
bahwa orang-orang membawa sesuatu yang mereka miliki sebelumnya ke dalam
Islam. Jadi bahkan di antara sahabat-sahabatnya, ada beberapa orang yang punya
bakat khusus atau tantangan, dan hal-hal inilah yang harus mereka terus jalani
setelah menapaki jalan ini. Jadi begitu juga, kurasa hal ini benar bagiku, ada
banyak tantangan dan hidup terus memberikan tantangan. Ini hanya membutuhkan
kesabaran.
Bagiku ini adalah perjalanan yang sudah hampir 20 tahun. Hanya Allah yang tahu
bagaimana dan kapan akan berakhir. Jadi nasihatku kepada Muslim yang baru atau
bahkan kepada orang-orang yang sudah menjadi Muslim sejak waktu yang lama
adalah tetap bersabar, dan lihatlah apa yang Allah sediakan yang akan
mengejutkan kalian. Bukan dengan rasa takut, namun dengan cinta dan harapan.
Jika ada non-Muslim yang mendengarku hari ini, kurasa kau berhutang pada
dirimu sendiri untuk mengetahui sebanyak yang kau bisa tentang dunia di
sekelilingmu. Islam dipastikan ada di dunia, ini tak terhindarkan, di berita,
dan di lingkungan sekitar kita. Dan jika kau tidak mengenal Muslim manapun,
mungkin kau akan mengenalnya pada suatu waktu.